Jumat, Maret 21, 2008

Barisan Entrepreneur Mengkilap

Dikutip dari : http://www.swa.co.id
Kegigihan, kejelian melihat peluang, inovasi dan praktik bisnis yang makin modern, mengantarkan para usahawan peserta Enterprise 50 meraih sukses. Siapa saja mereka? Apa lagi yang mereka butuhkan agar bisa terus berkembang?

Dalam salah satu fragmen hidupnya, Jaya Sukamto pernah mengalami saat-saat ia harus benar-benar banting tulang. Setiap malam -- pukul 19.00-23.00 -- lelaki yang kini pemilik dan Presdir PT Berri Indosari ini mesti memeras jeruk asli Kalimantan guna memenuhi pesanan para pelanggannya. Jeruk perasan harus benar-benar fresh, karena hendak disajikan untuk pelanggan Jaya -- yang kebanyakan hotel berbintang -- sebagai minuman pelengkap sarapan. Kerja kerasnya itu kini telah berbuah PT Berri Indosari, salah satu produsen jus terkemuka di Tanah Air.

Pahit getir membangun bisnis juga dialami Andianto Setiabudi. Di awal 1980-an, di usia relatif muda (23 tahun) ia mesti bermotor keliling Bandung mencari mobil-mobil bekas untuk dijual kembali. Bisnis jual-beli mobil bekasnya memang tak berkembang. Toh, dengan kejeliannya melihat peluang, nasibnya bisa berubah. Andianto putar haluan dari bisnis jual-beli mobil bekas ke jasa penyewaan mobil. Hasilnya, ia kini berani mengklaim sebagai raja penyewaan mobil dari Bandung. Setidaknya, perusahaannya, Cipaganti Rental Car, telah memiliki 9 cabang tersebar di Bandung, Bogor dan Jakarta.

Berri Indosari dan Cipaganti Rental Car hanyalah dua dari sekian banyak perusahaan skala small medium enterprise (SME) yang ada di Indonesia. Kebetulan, keduanya adalah peserta Enterprise 50 tahun 2003. Keduanya mewakili perusahaan SME yang terus berkembang seiring banyaknya permintaan pasar terhadap produk dan layanan mereka.

Kondisi perekonomian nasional memang masih carut-marut akibat maraknya praktik KKN, salah urus negara, atau tidak adanya kepastian hukum. Namun, di tengah situasi tak ramah buat bisnis ini, beberapa SME masih mampu menunjukkan tajinya.

Dalam konteks inilah, program Enterprise 50 -- yang diselenggarakan Accenture Indonesia dan Majalah SWA -- tahun 2003 kembali memilih beberapa perusahaan skala SME terbaik di Indonesia. Penyelenggaraan program yang bertujuan mendorong berkobarnya semangat kewirausahaan kalangan SME di Tanah Air ini telah memasuki tahun keempat.

Belajar dari penyelenggaraan tahun lalu, kali ini panitia memberikan cukup banyak kelonggaran kepada calon peserta. Salah satunya, menghapus aturan yang mengharuskan peserta menyertakan laporan keuangan sebagai salah satu persyaratan administrasi. Konsekuensinya, penyertaan catatan keuangan perusahaan hanya menjadi nilai plus bagi peserta yang melampirkan.

Menurut Nia Sarinastiti, Manajer Senior Komunikasi Pemasaran Accenture Indonesia, langkah ini ditempuh untuk lebih menarik minat perusahaan SME berpartisipasi dalam Enterprise 50. Maklum, tahun lalu, banyak perusahaan terpaksa tak lolos seleksi awal hanya karena tak melampirkan catatan keuangan mereka. Tak heran, adanya perubahan dalam aturan program ini sedikit-banyak meningkatkan animo kalangan SME untuk berpartisipasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, seleksi dan pemeringkatan Enterprise 50 diperoleh dari hasil penilaian -- melalui wawancara mendalam -- terhadap aspek-aspek: filosofi manajemen, inovasi berkelanjutan, manajemen SDM dan budaya organisasi, extended enterprise (kemitraan), market presence (kehadiran di pasar), pengelolaan informasi dan pengetahuan, serta transparansi. Wawancara dilakukan baik dengan jajaran manajemen maupun staf perusahaan.

Agar hasil yang diperoleh lebih objektif, wawancara dilakukan oleh dua pewawancara (dari Accenture dan SWA) pada saat bersamaan. Nilai yang diperoleh setiap pewawancara dijumlahkan, ditambah dengan nilai yang diberikan kepada perusahaan yang menyertakan catatan keuangan mereka. Akumulasi nilai wawancara, plus nilai catatan keuangan menjadi hasil akhir penilaian setiap peserta. Hasil penilaian para pewawancara ini kemudian dipresentasikan di hadapan panel juri yang terdiri dari Pemimpin Redaksi SWA, Country Managing Partner Accenture Indonesia, Asisten Deputi Kelembagaan Departemen Koperasi dan UKM RI, serta perwakilan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.

Sedikit berbeda dari penyelenggaraan Enterprise 50 tahun 2002, yang memeringkat peserta dari urutan pertama hingga ke-50, tahun ini panitia terlebih dahulu membagi peserta dalam tiga kategori. Pertama, perusahaan skala menengah (revenue atau pendapatan di atas Rp 10 miliar). Kedua, perusahaan skala kecil (pendapatan di bawah Rp 10 miliar). Terakhir, perusahaan kategori tumbuh dan berkembang (up & rising), yakni perusahaan dengan umur usaha belum mencapai empat tahun, tapi perkembangan usahanya dinilai cukup signifikan.

Tahun ini, posisi jawara kategori perusahaan skala menengah diraih perusahaan pengembang software dan penyedia solusi TI PT Realta Chakradarma. Perusahaan yang dipimpin Hidayat Tjokrodjojo ini mengumpulkan skor akumulatif tertinggi (399). Produsen peralatan rumah sakit asal Yogyakarta PT Mega Andalan Kalasan (MAK) bertengger di posisi kedua dengan nilai 388. Di bawah MAK, menclok Waka Gae Selaras, perusahaan pemilik jaringan hotel di Bali, dengan nilai 381.

Di kategori perusahaan skala kecil, perusahaan penyedia tenaga detailer/medrep asal Yogya, PT Unggul Pasopati, menempati posisi pertama dengan nilai akumulatif 377, disusul perusahaan periklanan PT Voxa Innovative Communication di tempat kedua (364), dan Vidi Group yang membidangi properti di peringkat ketiga (357).

Adapun di kategori tumbuh dan berkembang, PT Sriagung Cahya Sakti, pemilik dan pengelola jaringan restoran Izzi Pizza menjadi jawara dengan nilai 351. PT Tripilar Medis Jaya, pengelola rumah sakit Happyland Medical Center di Yogya (340) di posisi kedua. Peringkat berikutnya diraih PT Biru Dirama (317), perusahaan perajin tas fashion dan makanan olahan Pia Apple Pie/Macaroni Panggang (313) di peringkat keempat.

Seperti tahun lalu, panitia memberikan pula penghargaan khusus kepada beberapa perusahaan yang meraih nilai tertinggi di setiap kategori penilaian, meliputi: Kebersamaan Visi Terbaik, Perusahaan Paling Inovatif, Manajemen SDM dan Budaya Organisasi Terbaik, Jaringan Kerja Sama Usaha Terbaik, Cakupan Pemasaran Terbaik, Pengelolaan Perusahaan Terbaik, dan Perusahaan Paling Transparan (selengkapnya, lihat Tabel).

Di samping itu, panel Redaksi SWA juga memilih SME yang dapat dikategorikan sebagai Entrepreneurs to Watch. Pemilihan ini berdasarkan beberapa faktor: pertumbuhan perusahaan, inovasi dan diferensiasi produk/layanan, seberapa jauh perusahaan memberikan multiplier effect bagi lingkungan bisnis, kesadaran terhadap branding, hingga prospek bisnisnya ke depan (selengkapnya, lihat Tabel.)

Dari komposisi peserta, tidak terdapat perbedaan mencolok dengan tahun lalu. Peserta Enterprise 50 tahun ini umumnya bergerak di sektor jasa (75%), sama dengan mayoritas peserta tahun lalu, dan sisanya perusahaan manufaktur (25%). Sektor jasa yang digeluti peserta beragam, meliputi jasa boga, pendidikan, keuangan, hiburan, kesanggrahaan (hospitality) dan pariwisata, periklanan dan kehumasan, hingga perawatan ban mobil. Sementara itu, bidang manufaktur meliputi pembuatan sistem dan aplikasi TI, industri peralatan rumah sakit, suplemen kesehatan, smartcard, dan sistem data, hingga fashion dan aksesori kecantikan. Sebagian peserta Enterprise 50 tahun ini adalah alumni tahun lalu, yang mencoba memperbaiki peringkat setelah merasa berhasil mendongkrak performa bisnisnya.

Dari bidang bisnis yang digeluti, tak sedikit peserta yang bergelut di bisnis yang lagi tumbuh, semisal Berri Indosari yang memproduksi jus segar. Karenanya, perusahaan ini merasa perlu terus mengedukasi pasar tentang pentingnya minum jus buah. Atau, ada juga Izzi Pizza yang berlaga di bisnis jaringan restoran khusus piza. Akan tetapi, tak sedikit pula peserta yang berbisnis di bidang yang sebenarnya bukan hal baru, semisal di properti, pengelolaan hotel dan layanan kesanggrahaan lainnya. Sebut saja Vidi Group di Yogya, Waka Gae Selaras di Bali, dan Tirtagangga Gitamaya di Bandung. Dalam penilaian Heru Prasetyo, Penasihat Accenture Indonesia, banyak pelaku usaha, khususnya peserta Enterprise 50, yang sebenarnya menggarap bidang bisnis berkategori sunset, tapi karena kondisi lokalnya mendukung, posisi bargaining bisnisnya naik menjadi sunrise.

Yang juga menarik diamati, dari komposisi peserta tahun ini, terdapat beberapa perusahaan yang dipimpin dan dikelola pebisnis wanita, antara lain: Kampung Daun, Pia Apple Pie/Makaroni Panggang, dan Biru Dirama. Ini menunjukkan, peran wanita dalam bisnis SME di Tanah Air juga tak boleh lagi dipandang sebelah mata.

Menurut Country Managing Partner Accenture Indonesia Julianto Sidharta, keragaman komposisi peserta menunjukkan banyaknya sektor usaha yang masih menarik untuk digeluti. Meski secara keseluruhan ia melihat trennya cenderung ke arah bisnis jasa. "Ini karena mereka pintar mencari niche market yang tepat dan belum diisi pemain lain, jadi tidak sekadar me-too," paparnya.

Memang, jika dirunut, kiat sukses para peserta Enterprise 50 dalam berbisnis sebenarnya tidak jauh dari keberhasilan mereka memenuhi kriteria penilaian Enterprise 50, yaitu dalam hal filosofi manajemen, inovasi berkelanjutan, manajemen SDM dan budaya organisasi, dan sebagainya. "Intinya, benang merah dari sukses yang diraih perusahaan Enterprise 50 adalah penerapan aspek-aspek tadi secara seimbang," tutur Julianto.

Alhasil, perusahaan yang mampu memenuhi aspek-aspek tadi memang terlihat menonjol dibanding perusahaan lain. Soal penerapan filosofi manajemen misalnya, pencapaian PT Indocare sebagai pemasar produk sabun kesehatan, importir sabun transparan impor, serta produsen suplemen Ester-C, patut ditiru. Perusahaan ini merasa perlu merumuskan visi-misi, dalam upaya mencapai target pertumbuhan hingga tahun 2005. Untuk mencapai visinya, perusahaan menerapkan falsafah I Care sebagai pegangan. Maksudnya, apa pun langkah untuk memajukan perusahaan harus didasari kepedulian. Hal ini juga ditunjang misi perusahaan dalam menyediakan produk-produk kesehatan yang mengutamakan faktor aman, murni dan alami.

Terlebih, Indocare juga sudah memiliki pabrik modern yang berlokasi di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta. Dari aspek manajemen, pabriknya yang didukung para profesional dan pasukan riset dan pengembangan, telah menerapkan ISO 9001-2000. Penerapan ISO 9001?2000 ini didukung penerapan konsep Balance Scorecard -- metode evaluasi perusahaan -- yang belum tentu diterapkan bahkan oleh perusahaan besar lokal sekalipun.

Contoh bagus lainnya, di sisi inovasi, Voxa Innovative Communication patut menjadi teladan. Bermodal keberanian, Voxa yang dimotori kakak-beradik Marisa dan Esterlita Hidayat, melabrak pakem periklanan konvensional dengan melahirkan inovasi berupa pemasangan iklan di ruang-ruang yang selama ini tak dilirik untuk berpromosi, semacam lift, eskalator dan di toilet. Bisa dibilang, merupakan terobosan baru di bidang periklanan di sini. Bahkan, inovasinya ini masuk dalam Museum Rekor Indonesia.

Aspek pemasaran, yang selama ini sering disebut sebagai salah satu titik lemah SME, tampaknya kini juga telah digarap kalangan SME peserta secara optimal. Meski mekanisme ?getok tular? tak sepenuhnya ditinggalkan, beberapa perusahaan SME tak lagi ragu menggelontorkan dana besar untuk berpromosi. Misalnya, untuk meningkatkan citra sebagai raja penyewaan mobil di Bandung, Andianto merasa Cipaganti Rental Car perlu memasang baliho besar di beberapa titik strategis di Kota Kembang.

Masih dalam hal pemasaran dan promosi produk, langkah John Wiwik Setiawan patut ditiru. Selain kemampuannya memasarkan Studio Foto Malibu, John mengakui, kegiatan promosi bisa berjalan baik karena kedekatannya dengan media. Selain banyak diulas di berbagai media, Malibu aktif pula membuat dan menyebarkan brosur.

Langkah promosi kreatifnya, Malibu melakukan co-branding dengan Majalah Aneka Yess dan menggelar Pemilihan Model Foto Action. Kerja sama dengan media dilakukan pula dalam acara Foto Mesra bareng Artis, bekerja sama dengan Majalah Film, atau Foto Ceria bareng Artis Cilik berkolaborasi dengan Tabloid Fantasi. Untuk lebih membuka diri terhadap kalangan pers dan media, Malibu bahkan memiliki Divisi Public Relations sendiri.

Kesadaran pentingnya upaya branding juga diperlihatkan Lal de Silva dalam mengembangkan Seven Grain. Nama Seven Grain dijadikan merek produk, karena lebih menjual dan mudah diingat ketimbang PT Antonius Padua Production yang terkesan serius dan mengandung makna religius. Tak hanya mengembangkan merek Seven Grain, tag line perusahaan yang berbunyi Let us make your celebration even more memorable pun diusung, untuk menegaskan kedekatan Seven Grain dengan aktivitas dan peristiwa-peristiwa berkesan kepunyaan pelanggan.

Lal juga menyadari pentingnya kualitas sebagai kunci sukses bisnis. Nurliah, Manajer Produksi Seven Grain, ketiban tugas melakukan kontrol kualitas yang ketat terhadap produk kue perusahaan ini. Boleh dikata, saat ini, prosedur standar pembuatan kue telah dibuat secara tertulis, sehingga menjamin produk kue yang dihasilkan Seven Grain memiliki rasa, bentuk dan kualitas yang sama meskipun dibuat oleh chef yang berbeda-beda. Menariknya lagi, agar produk Seven Grain bisa sampai ke pelanggan lebih cepat, proses pembuatan kue dipersingkat dengan melakukan penyetokan. Jika di awal bisnisnya, beberapa orang pelanggan harus menunggu 2-3 jam sampai pesanannya selesai, sekarang cukup hanya 10-15 menit kue pesanan pelanggan sudah bisa disiapkan.

Ke depan, seiring membludaknya permintaan, Seven Grain akan segera membuka cabang di beberapa kawasan strategis, semisal Pondok Indah, Kelapa Gading dan Pluit. "Semakin banyak cabang, berarti semakin dekat kami dengan pelanggan," tutur Nurliah.

Sayang, meski telah memiliki jurus-jurus pemasaran dan pengelolaan perusahaan lumayan bagus, pemahaman para peserta SME terhadap perkembangan teknologi informasi (TI) masih relatif minim. Di luar perusahaan yang berkecimpung di bisnis TI (PT Realta Chakradarma, PT Netdesign Komunika, dan PT Intisar Primula), penerapan TI di perusahaan peserta Enterprise 50 belum begitu memadai.

Beberapa di antaranya memang sudah memanfaatkan e-mail dan memiliki situs. Namun, situs ini pun kebanyakan tak pernah diperbarui, apalagi digunakan untuk aktivitas e-commerce. Sebagian mereka bahkan merasa cukup puas berkomunikasi via telepon atau faksimile.

Toh, ada salah satu peserta yang merupakan perusahaan non-TI yang sudah memanfaatkan TI dalam pengelolaan operasional perkantoran, yakni PT Gisano Sukses Mandiri yang merancang sendiri aplikasi laporan keuangannya, berbasis sistem aplikasi SAP.

Selain Gisano, Izzi Pizza juga telah merancang aplikasi TI praktis guna memudahkan konsumen dalam proses pemesanan antaran. Layanan hotline yang dimilikinya memungkinkan pesanan dari pelanggan diarahkan ke lokasi cabang terdekat. Alhasil, pesanan bisa diantarkan lebih cepat. Enaknya lagi, pelanggan tak perlu membayar tunai, karena kartu kredit pun bisa digunakan sebagai alat transaksi.

Di samping kelemahan tadi, faktor lain yang mendukung kesuksesan para peserta, seperti keuletan, kegigihan, ketekunan dan semangat pantang menyerah, nampaknya telah built-in dalam keseharian mereka. Kegigihan Jaya memeras jeruk hanya untuk memastikan produknya sampai ke tangan pelanggan dalam keadaan segar, bisa menjadi contoh nyata.

Belum puas? Mari ke Yogya. Di sana, ada Keun Wong Jan alias Abdul Natsir yang punya mimpi mendirikan rumah sakit dengan konsep baru. Sebutan gendeng yang ditujukan padanya karena berniat mendirikan rumah sakit, tak membuatnya mundur. Bahkan mundurnya beberapa mitra yang sebelumnya berencana ikut mendanai, tak menyurutkan langkahnya. Toh, pada akhirnya, dengan kerja kerasnya, Natsir mampu mewujudkan impiannya. Dana besar yang dia perlukan untuk membangun rumah sakit itu sebagian dari kantong sendiri, dan sebagian lagi diperoleh dari pinjaman bank. Jika semua berjalan lancar, Happyland Medical Centre -- rumah sakit yang memadukan layanan kedokteran modern dengan konsep pengobatan alternatif -- mulai beroperasi penuh awal 2004.

Walau begitu, tidak semua peserta Enterprise 50 melihat bisnis melulu sebagai sesuatu yang serius. Sebagian mereka menganggap bisnis sebagai kesenangan. Contohnya, Ruth Tamzil de Fernandez, yang memulai bisnis dari impiannya menjadikan area piknik di lingkungan rumahnya di Villa Triniti, Cihideung, Bandung sebagai kafe untuk kongko-kongko dengan kerabat dan kolega dekatnya. Kafenya sekarang dikenal dengan nama Kampung Daun.

Tak dinyana, kafe sederhana yang dikelolanya sejak tahun 1999 itu, kini menjelma menjadi tempat makan paling populer di Bandung. Sedikitnya 300 tamu datang ke Kampung Daun setiap harinya. Jumlah ini bisa meningkat tiga kali di akhir pekan. Toh, di mata Ruth, apa yang dikerjakannya demi mengembangkan Kampung Daun, bukanlah bisnis. "Itu lebih sebagai kesenangan buat saya," katanya. Tak heran, sejak awal pendirian Kampung Daun, ia mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Itu pula mengapa bisnis yang ia kelola lebih banyak bersandarkan asas kekeluargaan. Kendati begitu, secara bertahap ia mulai merekrut beberapa tenaga profesional.

Tyas Utomo Soekarsono, pengamat SME dari Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia, menilai sukses usahawan SME di tengah kondisi perekonomian yang amburadul disebabkan beberapa hal. Yang pertama, SME biasanya beroperasi dalam bisnis yang berbasis konsumen (consumer based), seperti konveksi, makanan, agrobisnis, konsultan, ritel, kerajinan tangan, dan sebagainya. "Mereka memiliki produk dan layanan yang selalu dibutuhkan dan dikonsumsi masyarakat, tak peduli perekonomian nasional dalam kondisi baik atau buruk," tuturnya.

Selain itu, Ketua Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia ini melihat banyak pengusaha kecil-menengah yang berbisnis tanpa mengandalkan koneksi atau fasilitas. "Jaringan yang mereka bangun betul-betul jaringan bisnis," ungkapnya.

Menurut Tyas, mereka umumnya juga enggan berurusan dengan tetek bengek administrasi dan aktivitas lobi bisnis, karena dianggap merepotkan. "Kalau kata mereka, ?kita mah dagang saja, tidak pakai lobi segala?" ia bertutur, menirukan komentar para pengusaha SME. Namun dalam pandangan Tyas, ketimbang beberapa faktor di atas, faktor keuletan dalam berbisnislah yang sebenarnya menjadi penentu keberhasilan mereka berusaha.

Jahja B. Soenario, Direktur PT Gizita Pangan Sejahtera (Gizitas), salah satu alumni Enterprise 50 tahun lalu, menilai manfaat yang diperoleh saat bergabung dengan Enterprise 50 adalah banyaknya pengetahuan baru dalam cara pengelolaan perusahaan. Salah satunya, pentingnya fungsi manajemen modern dalam pengelolaan perusahaan, dan pentingnya mengoptimalkan cara-cara pemasaran.

Namun, ia menilai program ini masih ada kurangnya, yakni tindak lanjut agar para peserta dapat menjalin aliansi dan sinergi dengan alumni dan perusahaan lain. Selain itu, Jahja juga tak melihat adanya keseriusan pemerintah dalam mendukung SME. "Janji-janji pemerintah utamanya dalam pemberdayaan SME cuma sebatas slogan, realisasinya tak pernah ada," ia menandaskan. "Kalau mau, pemerintah dapat memberi insentif dalam bentuk kemudahaan izin usaha, atau keringanan pajak," tambahnya.

Senada dengan Jahja, Tyas juga menyarankan agar pemerintah mengubah cara pandang mengenai SME. "Pemerintah harus melihat pengusaha sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar cash cow," katanya. Artinya, pengusaha SME harus betul-betul dibina dan dibesarkan, karena nantinya merekalah yang membayar pajak pendapatan daerah atau negara.

Menanggapi hal ini, Choirul Djamhari, Asisten Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi & SME, mengatakan sebenarnya pemerintah telah mengatur berbagai hal mengenai SME dalam UU No. 9/1995, sedangkan Usaha Menengah diatur dalam Inpres No. 10/1999.

Pemerintah, dijelaskan Choirul, sebenarnya memiliki beberapa strategi untuk terus mendukung keberadaan sektor SME. Pertama, mempermudah terciptanya iklim usaha, di antaranya dengan menyederhanakan prosedur dan perangkat per-UU-an yang mengatur SME. Termasuk, meniadakan peraturan yang tumpang tindih di tingkat pusat dan daerah. Kedua, meningkatkan akses terhadap sumber daya -- dari akses teknologi informasi, sumber daya modal, hingga sumber daya manusia. Ketiga, mendorong tumbuhnya semangat kewirausahaan baru melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pemagangan. "Ketiga strategi ini diwujudkan dalam kerangka otonomi daerah, agar tercipta kemandirian SME, sehingga mengurangi ketergantungan pada pemerintah," ia memaparkan.

Toh, Choirul menyambut positif pelaksanaan Enterprise 50. "Para usahawan yang sering ikut kompetisi akan mampu dan terbiasa untuk terus tumbuh dan berkembang, karena mendapatkan paramater-parameter baru," ia menegaskan. Parameter ini, lanjutnya, menjadikan para usahawan senantiasa waspada terhadap perkembangan bisnis yang ada. Mereka pun dapat saling belajar dan melakukan dengan usaha lain yang lebih bagus.

Memang, para pengusaha SME sendiri juga bukan tanpa kelemahan. Salah satunya, soal transparansi pengelolaan perusahaan. Mengenai banyaknya SME yang belum transparan ditanggapi Choirul sebagai kondisi yang wajar, dan merupakan ciri umum SME "Tingkat formalitas mereka memang relatif rendah," ujarnya.

Soal transparansi juga menjadi perhatian Julianto Sidharta. Menurutnya, kesempatan mendapatkan pendanaan dari bank, salah satunya diperoleh jika laporan keuangan yang transparan tersedia. Transparansi dalam hemat Julianto tak sebatas keuangan saja, tapi juga soal manajemen. "Saya kira semua orang setuju, transparansi penting bagi bisnis yang tengah berkembang,? ia berujar.



Reportase: Dedi Humaedi, Herning Banirestu, Farida Nawang Nurini, Tantri Ryanthi. Riset: Vika Octavia.