Minggu, Maret 30, 2008

Emm…Investasi Properti di Bali Menggiurkan

Oleh : Dede Suryadi
Dikutip dari : http://www.swa.co.id

Pembangunan properti di Bali seperti vila, apartemen dan hotel terus menjamur, sehingga menjadi daya tarik untuk berinvestasi. Bagaimana pengalaman para investor membenamkan dananya?

Setelah tragedi bom 12 Oktober 2002 yang disusul pada 1 Oktober 2005, Bali terus menggeliat dan kembali menjadi incaran wisatawan mancanegara karena pesona alam dan budayanya yang memikat. Sejalan dengan itu, pembangunan propertinya pun terus menjamur, mulai dari vila, hotel, mal, hingga apartemen atau kondominium dan hotel (kondotel). Pemerintah pun turut andil memperbaiki dan mempromosikan Pulau Dewata dengan gencar. Berdasarkan penelusuran riset SWA, diperkirakan kapitalisasi proyek properti di Bali berkisar Rp 3-7 triliun. Sedikitnya 711 proyek properti telah dibangun. Tahun lalu saja, tercatat 30 proyek properti sedang dibangun. Lokasi favoritnya di Kuta, Jimbaran, Uluwatu, Ungaran, Seminyak, Nusa Dua dan Ubud.

Sejumlah pengembang pun turut andil dalam kancah bisnis properti di Bali, termasuk pengembang dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, Thailand dan Singapura. Mereka bersaing dengan membangun proyek properti yang wah dengan harga selangit. Apartemen SunWel Beach Residences di Gianyar, atau Panorama Bali Resort & Spa, dan Outrigger O-CE-N Resort di Legian merupakan contoh proyek properti garapan asing.

Sementara itu, para pemain dari dalam negeri, sebut saja PT Samudra Asia Nasional (anak perusahaan PT Bakrieland Development Tbk.), sedang membangun kondotel di Kuta bernama Legian Nirwana Suite. Dikabarkan, investasi yang dibenamkan mencapai Rp 225 miliar untuk membangun 300 unit kondotel lima lantai. Harga yang ditawarkan berkisar Rp 900 juta-2,5 miliar per unit. Lalu ada PT Citra Raya Surabaya (anak perusahaan Grup Ciputra) yang membangun Vila Pat Mase di Jimbaran dengan operatornya dari Swiss Belhotel.

Ada lagi PT Seminyak Suites Development, yang membangun 59 unit kondotel eksklusif bernama Anantara. Harga yang ditawarkan mulai dari US$ 300 ribu per unit dengan hak kepemilikan strata title. Tak ketinggalan Grup Nikki milik Putu Surya tengah mengembangkan Nikki Square, kondotel terdiri 292 unit dan dioperasikan oleh jaringan Aston International mulai April nanti. Dibangun di atas tanah seluas 20 ribu m2 di tengah kota Denpasar, Nikki Square akan dilengkapi ballroom terbesar di Bali, pusat perdagangan dan fasilitas hotel berbintang lainnya.

Menurut Putu, pihaknya sudah menghentikan penjualan sejak November 2007, karena 70% unit dengan luas minimum 40 m2 yang ditawarkan seharga Rp 10-12,5 juta/m2 sudah laku terjual. Sisanya yang 30% akan tetap dimiliki sendiri untuk mengantisipasi bila kerja sama dengan Aston selesai, pihaknya masih bisa mengoperasikan sendiri. Putu pun bakal membangun 150 unit lagi untuk Nikki Square tahap kedua. Bahkan, Putu juga sedang membangun 150 vila di kawasan wisata Bedugul yang pembangunannya sudah mencapai 50%.

Selain itu, Putu tengah membangun pula 250 unit kondotel di kawasan Jimbaran dekat Patung Garuda Wisnu Kencana yang merupakan lokasi utama (prime location). Proyek propertinya ini direncanakan bisa menyasar pangsa pasar yang lebih luas dibanding proyeknya di Denpasar. Selain sebagai pemegang saham mayoritas di tiga proyek tersebut, Putu juga ikut bergabung bersama teman-temannya membangun Bali Kuta Residence dan Royal Bali Tower masing-masing 250 unit di daerah Kuta. “Sesama pengusaha Bali kami saling menguatkan,” ujar Putu, yang juga berbisnis di bidang hotel, pendidikan dan rumah sakit.

Diakuinya, Bali saat ini sudah dipenuhi pembangunan apartemen. Ia menyebut pemain lainnya, misalnya, Grand Kuta Apartment, Bali Nirwana Resort (BNR) milik Bakrie dan St Regis, diperkirakan apartemen yang ditawarkan mencapai 2.000 unit hingga akhir 2008. Meskipun begitu, menurutnya, penawaran itu belum menjadikan persaingan sangat ketat, sebab pangsa pasar yang disasar pun cukup beragam. Putu, misalnya, mematok harga berkisar Rp 10-12,5 juta/m2, sedangkan di BNR Rp 15-20 juta/m2.

Haryanto, pembeli apartemen di Nikki Residence, mengatakan, dirinya tertarik membeli apartemen itu karena berada di pusat kota di Kuta, dan operatornya Aston yang sudah teruji. “Intinya, saya ingin berinvestasi, tapi tidak merepotkan karena ada yang mengurus,” ia menyimpulkan. Tak tanggung-tanggung, di Nikki, Hari – nama panggilan Haryanto – membeli empat unit dengan harga masing-masing Rp 600 juta/unit. Skema pembayarannya pun menarik. Selain menggunakan kredit kepemilikan apartemen dari bank dan bayar tunai, manajemen Nikki juga menawarkan skema pembayaran 50% tunai dan sisanya diangsur dari hasil penyewaan kamar.

Nah, Hari memilih cara ketiga. Pada saat awal, ia membayar sekitar Rp 1,2 miliar dan sisanya Rp 1,2 miliar akan dibayar dari hasil penyewaan selama 10 tahun. Harga sewa per unit adalah Rp 500-750 ribu/malam, sekelas hotel bintang empat. Biasanya apartemen jenis ini disewa kalangan bule untuk jangka panjang. Memang, selama 10 tahun ke depan tidak ada uang yang masuk ke kantong Hari. Akan tetapi, jangan salah, harga kondotel ini terus naik. “Saat beli November 2007 harga Rp 600 juta per unit, saat ini sudah Rp 720 juta per unit,” ujarnya senang. Pengusaha asal Jakarta ini pun berencana, kalau dalam dua-tiga tahun sudah mencapai di atas Rp 1 miliar, ia siap menjual apartemennya itu.

Alasan ini juga yang mendasari Kadek Suyasa Jaya dan H. Mohamad Raif untuk membeli apartemen Nikki. Selain dari hasil penyewaan yang menguntungkan, para pemilik mempunyai opsi dapat memakai apartemen itu beberapa hari dalam satu tahun. Lokasi yang strategis dipakai alasan Raif – yang juga pedagang antarpulau – sebagai pertimbangan saat memutuskan bergabung di Nikki. Raif berencana hendak memanfaatkan kondotelnya saat harus menjamu rekan-rekan bisnisnya yang berkunjung ke Bali. Sebagai investasi, “Nikki cukup menggiurkan dibanding apartemen yang dibangun pengembang lain,” kata Raif. Makanya, ia berencana hendak menambah unitnya lagi bila ada pembangunan Nikki tahap kedua, atau mencari lokasi lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Intan Aprilia, konsultan dan agen properti yang sering menangani klien orang Indonesia dan asing di Bali, memetakan karakter investor terutama orang asing. Menurutnya, orang asing akan suka tinggal di Bali di tempat-tempat yang juga banyak warga atau komunitas asingnya. Seperti para pekerja asing yang tinggal di Bali, mereka akan cenderung memilih daerah Seminyak ke arah Tabanan, karena di kawasan ini banyak klub dan ada sekolah internasional, plus hamparan pantainya yang memikat. Dan, untuk kelas elitenya, mereka lebih memilih di Jimbaran. Sementara orang asing yang suka dengan nuansa pegunungan akan memilih daerah Ubud. “Selain kondotel, vila atau town house juga jadi pilihan menarik untuk investasi,” tutur pemilik Global Intan Service ini.

Intan mencontohkan, seorang investor dari Dubai pada awal 2007 membeli vila di Seminyak dengan luas bangunan 300 m2/luas tanah 400 m2, meliputi tiga kamar tidur dan ada kolam renangnya, seharga US$ 240 ribu. Kalau ukuran hotel, vila ini kelas bintang lima. Lalu, kurang dari setahun dijual dengan harga US$ 360 ribu. “Net profit yang diperoleh US$ 80 ribu karena ada potongan pajak dan lainnya,” katanya.

Berbicara soal vila, seorang investor – sebut saja Imelda – mengaku sudah cukup lama memiliki sejumlah vila di pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu ini. Vilanya itu berada di Kuta, Seminyak dan Tabanan – ada yang dibeli Imelda dengan cara takeover dari pemilik sebelumnya karena tidak bisa mengelolanya, bangunannya belum jadi, sudah usang, atau kurang bagus penataan eksterior-interiornya. Biasanya, tanah vilanya itu sifatnya build operation transfer (BOT) selama sekian tahun. “Kalau membangun dari awal bisa lebih mahal, butuh investasi sangat tinggi,” katanya seraya menjelaskan bahwa untuk perbaikan ini butuh dana Rp 300-400 juta, tergantung pada kondisi vilanya.

Nah, vilanya itu ia sewakan ke orang asing untuk jangka panjang. Biasanya mereka bekerja atau membuka usaha di Bali. Sewanya berkisar Rp 60-50 juta per tahun atau bisa US$ 150 per hari. “Dengan sewa ini bisa kembali modal,” tuturnya. Dan, kalau vila itu dijual, return yang diperoleh bisa mencapai 30%-40% dalam tempo satu-dua tahun. “Tapi ini tergantung pada lokasi,” ia menegaskan.

Memang investasi properti di Bali cukup menggiurkan, asalkan tahu trik membeli dan mengelolanya. Ali Hanafiah, pengamat properti memberi masukan. Pertama, soal status tanah perlu diperhatikan, apakah BOT atau hak milik, baik untuk vila maupun kondotel. Jika sistem BOT, berarti investor hanya membeli bangunannya karena tanahnya biasanya milik negara. Hal ini banyak terjadi di Nusa Dua. Maka, hasil investasinya hanya dari penyewaan, atau dari bangunannya yang kemudian dijual lagi. Namun ingat, bangunan itu ada nilai penyusutannya. Maka harus jelas, kalau BOT-nya sudah selesai, apa rencana selanjutnya. Ini bisa ditanyakan pada pihak pengembang.

Nah, bagi yang tanahnya BOT, misalnya 30 tahun, Ali punya hitung-hitungannya. Menurutnya, maksimum investasi harus kembali modal (BEP) sektiar 7 tahun. Dengan demikian, minimum return yang diperoleh 15% (bersih) per tahun – sudah dipotong pajak, komisi dan lainnya. Hitungan 7 tahun itu standar umum untuk investasi penyewaan properti, sebab investor tidak punya aset. Setelah 7 tahun barulah investor menikmati keuntungannya dari hasil penyewaan. ”Kalau tidak bisa untung ngapain berinvestasi,” ungkapnya.

Lalu, kalau tanahnya bersifat hak milik strata title di atas Hak Guna Bangunan, berarti tanahnya dimiliki oleh investor, atau kalau kondotel dimiliki bersama-sama. Jika nanti bangunannya sudah tua, bisa dibangun kembali bersama-sama pula. Untuk kasus tanah jenis ini, Ali memberi masukan, untuk bisa BEP maksimum 10 tahun dengan return minimum 10% per tahun.

Supaya return bisa maksimum, yang perlu juga diperhatikan, pertama, lokasinya harus strategis seperti Kuta, Jimbaran, Seminyak, Legian, Nusa Dua. Khusus untuk kondotel kisaran harganya bervariasi. Seperti di Nusa Dua berkisar Rp 15-20 juta/m2; di Kuta Rp 8-12 juta/m2; dan yang dekat pantai bisa mencapai Rp 15 juta/m2. Jimbaran, Legian, Seminyak harganya sama dengan di Kuta. Namun di Seminyak ada yang Rp 36 juta/m2 seperti yang ditawarkan oleh Apartemen Anantara dengan operatornya dari Thailand. Sementara untuk vila, harganya bisa lebih mahal lagi. “Untuk ukuran Bali, harga segitu relatif tidak mahal kalau untuk investasi, sebab tingkat huniannya tinggi selama situasinya tetap aman tidak ada bom,” ungkap Prinsipal Century 21 ini.

Kedua, lihat siapa operator atau pengelola kondotel/vila yang mau dibeli. “Sekarang, operator yang sedang diminati adalah Accord, Ascot dan Swiss Belt,” ia menginformasikan. Ketiga, siapa pengembangnya. Tentunya, investor harus mencari pengembang yang kredibel, berpengalaman, dan memiliki banyak jaringan. Saat ini pengembang besar pun sudah merambah Bali, seperti Grup Bakrie, Ciputra dan Agung Podomoro.

Satu hal lagi, bila ingin menggunakan konsultan atau agen properti, cari yang kredibel. Tak jarang karena salah pilih agen, alih-alih ingin berinvestasi untuk cari untung malah jadi buntung. Tak jarang ada oknum nakal yang menjual tanah di area abu-abu (grey area), seperti tanah sengketa atau tanah milik negara. Akan tetapi, ketika bangunan sudah jadi, terjadi pembongkaran secara paksa. Jadi, kendati investasi properti di Pulau Bali sangat menggiurkan, investor mesti tahu trik-triknya.